Mengungkap Perjalanan Uang Indonesia di Museum



Mengungkap Perjalanan Uang Indonesia di Museum

Jika anda bosan dengan liburan yang begitu-begitu saja, ke pusat perbelanjaan, taman hiburan, atau pantai, maka tak ada salahnya sesekali mengunjungi museum, sembari mengenal perjalanan uang dan kegiatan perbankan di Indonesia.

Berjalan-jalan di Museum Mandiri yang terletak di di Jalan Lapangan Stasiun Nomor 1, Kota, Jakarta Barat, seperti menapaki perjalanan uang orang Indonesia, mulai dari uang yang diterbitkan De Javasche Bank, Pemerintah Kerajaan Jepang Raya, hingga Bank Indonesia. Beragam koleksi uang kertas dan uang logam tersimpan rapi dalam bangunan berarsitektur Belanda tersebut, dari 5 sen, 10 gulden, 50 gulden, Rp 1 rupiah, Rp 100 rupiah, Rp 1000 rupiah dan sebagainya.

Kepada Kompas.com, salah seorang pemandu, Wege, menunjukkan sudut demi sudut bangunan yang terdiri dari empat lantai itu. Mulai dari ruang safe deposit box, ruang koleksi numimastik, ruang kerja direksi, hingga kas China.

Ruang safe deposit box menyimpan koleksi surat-surat berharga, seperti, cek, giro, bilyet deposito, sertifikat deposito, obligasi, serta saham. Di ruangan ini juga ada brankas-brankas tempat menyimpan perhiasan serta emas.

"Kalau brankas kebanyakan dari Belanda, mereknya juga Belanda cuma kita ambil dari Semarang, Surabaya," terang Wege, Sabtu (8/3/2014). Ya, Semarang, dan Surabaya adalah beberapa dari 30 kantor cabang Nederlandshce Handel Maatschappij (NHM) NV, cikal bakal Bank Exim, yang kemudian melebur ke dalam Bank Mandiri.

Tak kalah menarik, di ruangan lain ada pula koleksi uang kertas seri wayang yang diterbitkan pada masa pendudukan Jepang. Salah satunya adalah uang kertas pecahan Rp 10, yang diterbitkan Pemerintah Kerajaan Jepang Raya tahun 1943.

Uang Seri Dai Nippon Teikoku Seihu ini dicetak Djakarta Insatsi Kodjo dengan pengaman serat biru halus. Tampak depan uang berukuran 159 kali 77 milimeter ini adalah penari wayang Gatot Kaca, sedangkan tampak belakangnya adalah arca Budha dan stupa.

Sayangnya, koleksi numimastik di museum ini tak terlalu lengkap. Kata Wege, koleksi numimastik yang lebih lengkap ada di Museum Bank Sentral atau BI.

"Tapi yang paling spesifik uang yang di tengah ini," kata dia sembari menunjukkan uang logam seukuran tutup gelas, bergambar pohon dan bertuliskan 1824-1924.

Uang itu, lanjut Wege, dicetak untuk memperingati 100 tahun NHM, yang lahir 1824. Di sisi satunya, ada nama-nama kantor cabang NHM di 30 kota, termasuk Semarang, dan Surabaya.

Museum itu dulunya berada dalam satu taman yang menyatu dengan Stasiun Kereta Api Jakarta-Kota atau BEOS (Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij).

Dirancang oleh arsitek NHM, JJJ de Bruijn dan arsitek Belanda lainnya yakni AP Smits dan C van de Linde, dulunya bangunan ini digunakan sebagai kantor perwakilan NHM di Hindia Timur yang lebih dikenal dengan nama De Factorij Batavia. Pembangunan dimulai 1929 dan selesai 1933.

"Waktu pembangunannya ada penanaman kepala kerbau di tengan bangunan ini, karena yang bangun kan tukang-tukang kita. Juga ditanam koin-koin emas," imbuh Wege.

Seiring berjalannya waktu, bangunan seluas 12.509 meter persegi tersebut digunakan oleh Bank Exim, dan pada 2005 lalu resmi menjadi Museum Bank Mandiri.

Wege yang bekerja di museum ini sejak 2005 mengatakan bangunan ini sudah beberapa kali mengalami renovasi kecil-kecilan. Meskipun demikian, perbaikan yang dilakukan sama sekali tak mengubah ciri khas arsitektur bangunan.

Dari pantauan Kompas.com selama beberapa pekan terakhir, Museum Mandiri tak pernah sepi pengunjung. Museum ini dibuka mulai hari Senin hingga Minggu, dari jam 9 pagi hingga 4 sore. Menurut Wege, biasanya, kunjungan mencapai lebih dari 1000 orang di hari-hari libur. Pada hari-hari biasa museum ini disambangi sekitar 200 hingga 300 pengunjung.

"Kalau untuk pelajar, mahasiswa, dan nasabah Mandiri, gratis. Kalau untuk umum cukup bayar Rp 2.000," ujarnya.

Wege mengatakan, selain melihat-lihat koleksi museum, tak sedikit pula pengunjung yang sengaja datang untuk melakukan pemotretan. Para fotografer yang ingin mengambil gambar dikenai tarif Rp 300.000 hingga Rp 700.000 per hari, sesuai jam operasional museum. Namun, ia memastikan, aktivitas para fotografer tersebut tidak akan mengurangi kenyamanan pengunjung museum.

0 comments: